Rabu, 20 April 2016

Tugas 2 Perekonomian Indonesia (Softskill) "Sejarah Ekonomi Indonesia"

SEJARAH EKONOMI INDONESIA






KELAS    : 1EB23
ANGGOTA KELOMPOK   :

1.    INDRI ASTUTI                           (23215366)
2.    JUWANYAR PUTRI I.              (23215642)
3.    USWATUN HASANAH            (26215988)






FAKULTAS EKONOMI
UNIVERITAS GUNADARMA
2016












KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sejarah Ekonomi Indonesia ”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.



Bekasi,   April 2016


Penyusun










BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
Pada masa orde lama, kinerja perekonomian indonesia sangat buruk. Produksi nasional di semua sector mengalami stagnasi, ekspor nonmigas sama sekali tidak berkembang, infrastruktur fisik hancur, tingkat inflasi sangat tinggi mencapai lebih dari 500%. Banyak faktor yang menyebabkan porak-porandanya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan soekarno tersebut, diantaranya sistem sentralisasi yang sangat ketat, permusuhan dengan pihak barat, ketidakstabilan politik di dalam negeri dan perhatian soekarno yang lebih terpusatkan pada gerakan-gerakan nasionalisme ketimbang pada pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya, tingkat pendapatan per kapita di Indonesia termasuk yang paling rendah di antara Negara-negara berkembang lainnya pada masa itu.
Namun pada masa pemerintahan orde baru di bawah pimpinan soeharto, terjadi suatu perubahan yang sangat drastic di dalam perekonomian nasional. Ada tiga hal yang menunjukan perubahan besar tersebut. Pertama, inflasi dapat diturunkan dalam waktu singkat hingga ke satu digit. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang membuat pendapatan per kapita meningkat hingga di atas 1.000 USD pada awal tahun 1997. Ketiga, jumlah penduduk miskin menurun drastis.
Namun perekonomian Indonesia dihadapi oleh sejumlah permasalahan yang cukup berat, di antaranya adalah kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang memaksa pemerintah di bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga pangan, dan krisis keuangan global menjelang akhir tahun 20008 yang mengganggu kelancaran ekspor dan impor Indonesia serta investasi di dalam negeri.

1.2       Rumusan Masalah
1.    jelaskan tentang sejarah prakolonialisme ?
2.    Apa itu sistem monopoli VOC ?
3.    jelaskan tentang sistem tanam paksa ?
4.    Apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi kapitalis liberal ?
5.    Jelaskan tentang perekonomian Indonesia pada Era pendudukan jepang ?
6.    Apa saja cita-cita ekonomi merdeka ?
7.    Jelaskan perekonomian Indonesia pada priode pemerintahan orde lama, orde baru, pemerintahan transisi dan orde pemerintahan reformasi.

1.3       Tujuan Penulisan
Untuk membekali mahasiswa agar lebih paham dan menguasai teori terkait: sejarah ekonomi indonesia

1.4       Manfaat Penulisan
1.    Makalah ini bermanfaat bagi kita semua , karena didalam makalah yang sesederhana ini terdapat materi perkuliahan kita. Jadi diharapkan kepada teman-teman semuanya mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
2.    Manfaat lainnya yaitu dengan hadirnya makalah ini sejumlah orang atau teman-teman semuanya menjadi tahu tentang sejarah ekonomi Indonesia.
3. Makalah ini juga bermanfaat sebagai bahan bacaan untuk teman-teman semuanya.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarah Prakolonialisme

Yang dimaksud dengan periode Pra-Kolonialisme adalah masa – masa berdirinya kerajaan – kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke – 5) ampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politikdi wilayah nusantara (sekitar abad k-15 sampai 17). Pada masa itu RI belum berdiri. Daerah – daerah umumnya dipimpin oleh kerajaan – kerajaan. Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).

Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”. Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam system perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau Impor.logam mulia.

Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaankerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, system pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:

-       Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah–rempah di Maluku.
-       Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll.
-       Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang sangat mengandalkan jalur laut.

Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke 13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan kerajaan –kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas. 


2.2       Sistem  Monopoli Voc

Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris). Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi: :

a. Hak mencetak uang
b. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c. Hak menyatakan perang dan damai
d. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja

Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah.

Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun system pasokan kebutuhankebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempahrempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.

Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an. Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.
Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh:

a.    Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b.    Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.    Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.    Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.


Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataafdihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.


2.3       Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelstel)

Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang). Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan.

Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris. Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.

2.4       Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal
Sistem ekonomi kapitalis atau juga disebut sistem ekonomi liberal adalah suatu sistem ekonomi yang kehidupan ekonomi masyarakatnya sangat dipengaruhi atau dikuasai oleh pemilik-pemilik kapital (modal). Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris pada pertengahan abad ke 18, setelah Adam Smith yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi menerbitkan buku “The Wealth of Nations“. Adam Smith mempunyai pandangan bahwa kepentingan pribadi merupakan kekuatan pengendali kehidupan ekonomi yang akan berjalan ke arah kemakmuran bangsa. Jika setiap orang diberi kebebasan, semuanya akan berusaha untuk mencapai kemakmuran bagi dirinya sendiri. Tidak akan ada orang menghendaki kemiskinan atau kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian jika setiap individu sudah makmur, maka seluruh masyarakat akan makmur, sebab masyarakat tidak lain merupakan kumpulan individu. Kebebasan yang dimaksudkan Adam Smith, antara lain mencakup kebebasan menjalankan usaha, kebebasan memiliki alat-alat produksi, kebebasan menetapkan harga, kebebasan untuk mengadakan persaingan, kebebasan mengadakan perundingan.
Dengan adanya kebebasan ini diharapkan adanya dorongan bagi setiap individu untuk bekerja lebih giat, berlomba ke arah kemajuan ekonomi, sehingga kemakmuran dapat ditingkatkan. . Semboyan kaum liberal adalah “laissez faire“ artinya biarkanlah. Semboyan ini mempunyai makna “biarkanlah mereka melakukan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka, biarkanlah produksi dan harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar bebas, tanpa adanya campur tangan pemerintah“. Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan,menegakkan hukum, dan menyelenggarakan pekerjaan umum. Sistem ekonomi kapitalis (liberal) tersebut memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut.
1.    Pemilikan alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, mesin-mesin oleh fihak swasta baik perseorangan maupun perusahaan. Setiap orang memiliki kebebasan memiliki alat-alat produksi.
2.    Adanya kebebasan berusaha dan bersaing.Setiap orang bebas memilih lapangan pekerjaannya (mendirikan perusahaan), dan bebas bersaing dengan cara apapun. Produksi dilaksanakan oleh para pengusaha swasta atas prakarsa dan tanggung jawabnya sendiri.
3.    Para produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksi, didorong oleh motif mencari keuntungan sebesar-besarnya.
4.    Harga-harga dibentuk di pasar bebas yang ditentukan oleh pertemuan antara permintaan dan penawaran.
5.    Campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi tidak dibenarkan.

Dalam kenyataannya kebebasan yang dikehendaki oleh kaum kapitalis, selain telah membawa kemajuan ekonomi yang pesat (industri dan perdagangan), juga telah mengakibatkan kesengsaraan bagi banyak orang. Sistem ekonomi ini ternyata memiliki keburukan-keburukan :

1.    Konsentrasi (pemusatan) kekuasaan ekonomi pada kelompok tertentu, sehingga muncul bentuk monopoli. Tidak selalu mekanisme pasar itu merupakan suatu sistem pasar persaingan sempurna, di mana harga ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Dalam kenyataannya satu atau beberapa perusahaan raksasa menguasai pasar. Mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam menentukan harga, dan menentukan jumlah dan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka selalu membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh keuntungan maksimum.

2.    Ketimpangan atau ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan, sehingga memperlebar jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kebebasan yang tidak ada batasnya dalam kegiatan ekonomi merugikan golongan yang lemah,sebab mereka akan kalah bersaing. Perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil, sehingga akhirnya menimbulkan semacam “kanibalisme“. Kekayaan makin bertambah pada golongan yang kuat, sedangkan, sementara golongan yang lemah akan jatuh miskin, yakni para pengusaha kecil dan kaum buruh.

3.    Kehidupan ekonomi sering tidak stabil, adanya gelombang konjungtur. Mekanisme pasar bebas menyebabkan perekonomian selalu mengalami fluktuasi yang tidak teratur. Pada suatu masa tertentu akan mengalami kemakmuran yang tinggi, tetapi pada masa berikutnya akan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Para pengusaha dapat memperoleh keuntungan yang banyak secara mendadak di suatu saat, dan mengalamikehancuran pada masa berikutnya. Demikian pula inflasi dapat tiba-tiba muncul,  dan penganguran yang tinggi dapat muncul pada masa berikutnya. Ketidakstabilan ekonomi seperti ini sangat merugikan masyarakat banyak.


2.5       Era Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

2.6       Cita Cita Ekonomi Merdeka
Sudah 71 tahun bangsa Indonesia merdeka. Apakah tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan yang menebus kemerdekaan dengan keringat, air mata, darah, dan bahkan jiwa raganya sudah tercapai? 
 Apakah kita masih dalam jalur dalam meniti cita-cita perjuangan mereka? Ataukah kita telah tega mengkhianati perjuangan dan cita-cita perjuangan mereka dengan menyelewengkan amanat dan kepercayaan yang diberikan? Peringatan hari kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya dirayakan dengan sukacita. 
Rakyat Indonesia sudah terbiasa mengisinya dengan berbagai perlombaan dan hiburan serta pesta rakyat yang mengundang kegembiraan dan keceriaan, karena kemerdekaan itu memang merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah SWT untuk bangsa Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan para pejabat dan penyelenggara negara. 
Apa sebenarnya tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia? Jika kita buka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada bagian Pembukaan alinea IV disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan dan dibentuknya Negara Republik Indonesia ada empat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 
Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.
Sungguh luar biasa tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang dirumuskan para pendiri negara ini. Tujuan itu mereka susun dalam kalimat yang begitu sederhana, namun jelas dan tegas serta telah mencakup semua hal, baik politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan dan keamanan. Pada poin pertama, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terkandung arti keinginan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. 
Perlindungan di sini juga harus dimaknai dalam arti luas, bukan saja perlindungan secara fisik dan menciptakan keamanan, tetapi juga perlindungan hukum, dan kedaulatan negara. Coba kita renungkan apakah tujuan ini sudah tercapai? Kita jangan berbicara soal statistik di sini, karena kalau masih ada satu orang saja warga negara Indonesia yang tidak terlindungi berarti tujuan tersebut belum tercapai. 
Memajukan kesejahteraan umum adalah tujuan dan cita-cita kemerdekaan untuk aspek sosial ekonomi. Tanpa kecuali negara harus mengupayakan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan di sini dapat diartikan sebagai kondisi yang cukup sandang, pangan dan papan, serta terjaminnya fasilitas kesehatan bagi rakyat Indonesia Artinya pemerintah harus mengupayakan seluruh sumber daya dan kekayaan yang dimiliki negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jika ini sudah tercapai, tidak akan lagi kita temui gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di jalan, orang yang hidup di antara tumpukan sampah dan bernaung di bawah jembatan, angka kriminalitas juga akan turun dan seterusnya. Bagaimana kondisi itu saat ini, saya kira semua sudah tahu jawabannya. Kembali angka statistik bukanlah alasan dan jawaban yang bisa diargumentasikan di sini.
Akhirnya, kita patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi cita-cita kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini.

2.7       Ekonomi Indonesia pada setiap Periode
A. Periode Pemerintahan Ode Lama (ORLA) 1945-1966

1.    Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan:
o   Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
o    Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
o   Kas negara kosong.
o   Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
o   Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
o   Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
o   Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
o   Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948. yaitu dengan mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
o   Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan denganı beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik

2.    Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teoriteori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.

Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a)    Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.

b)    Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.

c)    Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

d)    Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.


3.    Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain:

a.    Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b.    Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
c.    Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.

Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan system demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.


B.             Periode Orde Baru (ORBA) : periode Maret 1966 - Mei 1998

Orde baru memiliki perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan Repelita, dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana Pelita secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara negara Barat.

Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru: meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.

Terjadi perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat dari perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sector industri. Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini menunjukkan terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari Negara agraris menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat pada paruh dekade 80-an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi di sector moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi menyebabkan terjadinya pergeseran dari semula tersentralisasi menjadi desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar. Pada level meso (tengah) dan mikro, pembangunan tidak terlalu berhasil : jumlah kemiskinan tinggi, kesenjangan ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara umum dalam Orde Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang semula bersifat tertutup di Orde Lama menjadi terbuka pada Orde Baru

Perkembangan ekonomi masa Orde Baru lebih baik dari Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor:

1.    Kemauan Politik yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan perubahan kondisi ekonomi.
2.    Stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Baru berhasil menekan inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok masyarakat serta meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3.    Sumber daya manusia yang lebih baik. SDM di masa ORBA memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4.    Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi serta ilmu pengetahuan.
5.    Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat produksi minyak dan harganya yang meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era ORBA khususnya setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa ORLA.

Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintah orde baru tanpa cacat. Kebijakan – kebijakan ekonomi selama masa orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi yang tinggi dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tikar rupiah terhadap USD pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan,2006b)


C. Pemerintahan Transisi

Diawali dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997, sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada IMF.

Paket bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).

Memorandum tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik. Pada periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata dalam perekonomian.


D.  Periode Pemerintahan Orde Reformasi ( 1998-Sekarang )

1.    Pemerintahan presiden BJ.Habibie

Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.

2.    Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid

Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

3.    Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri

Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan persoalan ekonomi antara lain :

a)    Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)    Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

4.    Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono

Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.

Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.

Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang undang ketenaga kerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.







PENUTUP

3.1       KESIMPULAN

Pada masa orde lama, kinerja perekonomian indonesia sangat buruk. Produksi nasional di semua sector mengalami stagnasi, ekspor nonmigas sama sekali tidak berkembang, infrastruktur fisik hancur, tingkat inflasi sangat tinggi mencapai lebih dari 500%. Akibatnya, tingkat pendapatan per kapita di Indonesia termasuk yang paling rendah di antara Negara-negara berkembang lainnya pada masa itu.
Namun pada masa pemerintahan orde baru di bawah pimpinan soeharto, terjadi suatu perubahan yang sangat drastic di dalam perekonomian nasional. Ada tiga hal yang menunjukan perubahan besar tersebut. Pertama, inflasi dapat diturunkan dalam waktu singkat hingga ke satu digit. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang membuat pendapatan per kapita meningkat hingga di atas 1.000 USD pada awal tahun 1997. Ketiga, jumlah penduduk miskin menurun drastis.
Namun perekonomian Indonesia dihadapi oleh sejumlah permasalahan yang cukup berat, di antaranya adalah kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang memaksa pemerintah di bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga pangan, dan krisis keuangan global menjelang akhir tahun 2008 yang mengganggu kelancaran ekspor dan impor Indonesia serta investasi di dalam negeri.




DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, Tulus T.H. 2009, Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar