SEJARAH
EKONOMI INDONESIA
KELAS : 1EB23
ANGGOTA KELOMPOK :
1. INDRI ASTUTI (23215366)
2. JUWANYAR PUTRI I. (23215642)
3. USWATUN HASANAH (26215988)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERITAS GUNADARMA
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sejarah Ekonomi Indonesia ”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.
Bekasi, April 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Pada masa orde lama,
kinerja perekonomian indonesia sangat buruk. Produksi nasional di semua sector
mengalami stagnasi, ekspor nonmigas sama sekali tidak berkembang, infrastruktur
fisik hancur, tingkat inflasi sangat tinggi mencapai lebih dari 500%. Banyak
faktor yang menyebabkan porak-porandanya perekonomian Indonesia pada masa
pemerintahan soekarno tersebut, diantaranya sistem sentralisasi yang sangat
ketat, permusuhan dengan pihak barat, ketidakstabilan politik di dalam negeri
dan perhatian soekarno yang lebih terpusatkan pada gerakan-gerakan nasionalisme
ketimbang pada pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya, tingkat pendapatan per
kapita di Indonesia termasuk yang paling rendah di antara Negara-negara
berkembang lainnya pada masa itu.
Namun pada masa pemerintahan
orde baru di bawah pimpinan soeharto, terjadi suatu perubahan yang sangat drastic
di dalam perekonomian nasional. Ada tiga hal yang menunjukan perubahan besar
tersebut. Pertama, inflasi dapat diturunkan dalam waktu singkat hingga ke satu
digit. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang membuat pendapatan per
kapita meningkat hingga di atas 1.000 USD pada awal tahun 1997. Ketiga, jumlah
penduduk miskin menurun drastis.
Namun perekonomian
Indonesia dihadapi oleh sejumlah permasalahan yang cukup berat, di antaranya
adalah kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang memaksa pemerintah di
bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangkas subsidi bahan bakar minyak
(BBM), kenaikan harga pangan, dan krisis keuangan global menjelang akhir tahun
20008 yang mengganggu kelancaran ekspor dan impor Indonesia serta investasi di
dalam negeri.
1.2 Rumusan Masalah
1. jelaskan tentang sejarah
prakolonialisme ?
2. Apa itu sistem monopoli
VOC ?
3. jelaskan tentang sistem
tanam paksa ?
4. Apa yang dimaksud dengan sistem
ekonomi kapitalis liberal ?
5.
Jelaskan tentang perekonomian Indonesia pada Era pendudukan jepang
?
6.
Apa saja cita-cita ekonomi merdeka ?
7.
Jelaskan perekonomian Indonesia pada priode pemerintahan orde
lama, orde baru, pemerintahan transisi dan orde pemerintahan reformasi.
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk membekali mahasiswa agar lebih paham
dan menguasai teori terkait: sejarah ekonomi indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Makalah ini bermanfaat bagi kita semua , karena didalam makalah
yang sesederhana ini terdapat materi perkuliahan kita. Jadi diharapkan kepada
teman-teman semuanya mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
2.
Manfaat lainnya yaitu dengan hadirnya makalah ini sejumlah orang
atau teman-teman semuanya menjadi tahu tentang sejarah ekonomi Indonesia.
3. Makalah ini juga bermanfaat sebagai bahan bacaan untuk teman-teman
semuanya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Prakolonialisme
Yang dimaksud dengan
periode Pra-Kolonialisme adalah masa – masa berdirinya kerajaan – kerajaan
di wilayah Nusantara (sekitar abad ke – 5) ampai sebelum masa masuknya penjajah
yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politikdi wilayah nusantara
(sekitar abad k-15 sampai 17). Pada masa itu RI belum berdiri. Daerah – daerah
umumnya dipimpin oleh kerajaan – kerajaan. Indonesia terletak di
posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan
Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua.
Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk
Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui
Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India,
Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga
hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa
kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme
politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya
di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat
dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis
produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang
“mampir”. Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di
masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan
Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang
masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam system
perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang
harus diimbangi dengan ekspor atau Impor.logam mulia.
Kejayaan suatu negeri
dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal
itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaankerajaan di Sumatera bersumber
dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan.
Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun
dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan
sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia. Dengan kata lain,
system pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
-
Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan
rempah–rempah di Maluku.
-
Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll.
-
Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang sangat
mengandalkan jalur laut.
Kerajaan-kerajaan besar
yang pernah muncul dalam sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad
ke-8), Majapahit (abad ke 13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan
kerajaan –kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.
2.2 Sistem Monopoli Voc
Belanda yang saat itu menganut paham
Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda
melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk
menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi
perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris). Untuk mempermudah aksinya di
Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi: :
a. Hak
mencetak uang
b. Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
c. Hak
menyatakan perang dan damai
d. Hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e. Hak
untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan
keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak
berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak
tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan
pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah.
Kota-kota dagang dan jalur-jalur
pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu.
VOC juga belum membangun system pasokan kebutuhankebutuhan hidup penduduk
pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC) dan contingenten
(pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC
juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan
diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempahrempah yang boleh ditanam penduduk,
pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi
peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu
juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk
Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor
cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan
merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru
mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena
selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi
imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah
besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an. Pada
tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda.
Kegagalan itu nampak pada defisitnya
kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh:
a.
Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
b.
Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.
Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.
Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan)
oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataafdihadapkan
pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang
berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan
bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan
impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris
di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih
pemerintahan di Hindia Belanda.
2.3 Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelstel)
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai
diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah
untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.
Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk produk selain kopi dan
rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.
Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda,
apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan
kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda
langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem
landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi.
Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke
gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah
ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam
pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram yaitu
kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan dan
memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan
diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang). Bagi masyarakat
pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah
mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan.
Namun segi positifnya adalah, mereka
mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya
bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu
meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat
sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda.
Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin
dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori
sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan
tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu
mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian
besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl
Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai
kapitalis.
2.4 Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal
Sistem ekonomi kapitalis
atau juga disebut sistem ekonomi liberal adalah suatu sistem ekonomi yang
kehidupan ekonomi masyarakatnya sangat dipengaruhi atau dikuasai oleh pemilik-pemilik
kapital (modal). Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris pada pertengahan
abad ke 18, setelah Adam Smith yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi menerbitkan
buku “The Wealth of Nations“. Adam Smith mempunyai pandangan bahwa
kepentingan pribadi merupakan kekuatan pengendali kehidupan ekonomi yang akan
berjalan ke arah kemakmuran bangsa. Jika setiap orang diberi kebebasan,
semuanya akan berusaha untuk mencapai kemakmuran bagi dirinya sendiri. Tidak
akan ada orang menghendaki kemiskinan atau kesengsaraan bagi dirinya sendiri.
Dengan demikian jika setiap individu sudah makmur, maka seluruh masyarakat akan
makmur, sebab masyarakat tidak lain merupakan kumpulan individu. Kebebasan yang
dimaksudkan Adam Smith, antara lain mencakup kebebasan menjalankan usaha,
kebebasan memiliki alat-alat produksi, kebebasan menetapkan harga, kebebasan
untuk mengadakan persaingan, kebebasan mengadakan perundingan.
Dengan adanya kebebasan
ini diharapkan adanya dorongan bagi setiap individu untuk bekerja lebih giat,
berlomba ke arah kemajuan ekonomi, sehingga kemakmuran dapat ditingkatkan. .
Semboyan kaum liberal adalah “laissez faire“ artinya biarkanlah.
Semboyan ini mempunyai makna “biarkanlah mereka melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan keinginan mereka, biarkanlah produksi dan harga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran di pasar bebas, tanpa adanya campur tangan pemerintah“.
Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan,menegakkan hukum, dan menyelenggarakan
pekerjaan umum. Sistem ekonomi kapitalis (liberal) tersebut memiliki ciri-ciri
pokok sebagai berikut.
1.
Pemilikan
alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, mesin-mesin oleh fihak swasta baik perseorangan
maupun perusahaan. Setiap orang memiliki kebebasan memiliki alat-alat produksi.
2.
Adanya
kebebasan berusaha dan bersaing.Setiap orang bebas memilih lapangan pekerjaannya
(mendirikan perusahaan), dan bebas bersaing dengan cara apapun. Produksi
dilaksanakan oleh para pengusaha swasta atas prakarsa dan tanggung jawabnya
sendiri.
3.
Para
produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksi, didorong oleh motif
mencari keuntungan sebesar-besarnya.
4.
Harga-harga
dibentuk di pasar bebas yang ditentukan oleh pertemuan antara permintaan dan
penawaran.
5.
Campur
tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi tidak dibenarkan.
Dalam kenyataannya kebebasan yang
dikehendaki oleh kaum kapitalis, selain telah membawa kemajuan ekonomi yang pesat
(industri dan perdagangan), juga telah mengakibatkan kesengsaraan bagi banyak
orang. Sistem ekonomi ini ternyata memiliki keburukan-keburukan :
1.
Konsentrasi
(pemusatan) kekuasaan ekonomi pada kelompok tertentu, sehingga muncul bentuk
monopoli. Tidak selalu mekanisme pasar itu merupakan suatu sistem pasar
persaingan sempurna, di mana harga ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran
penjual yang banyak jumlahnya. Dalam kenyataannya satu atau beberapa perusahaan
raksasa menguasai pasar. Mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam
menentukan harga, dan menentukan jumlah dan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka
selalu membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh keuntungan
maksimum.
2.
Ketimpangan
atau ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan, sehingga memperlebar jurang
antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kebebasan yang tidak ada batasnya
dalam kegiatan ekonomi merugikan golongan yang lemah,sebab mereka akan kalah
bersaing. Perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil, sehingga akhirnya
menimbulkan semacam “kanibalisme“. Kekayaan makin bertambah pada
golongan yang kuat, sedangkan, sementara golongan yang lemah akan jatuh miskin,
yakni para pengusaha kecil dan kaum buruh.
3.
Kehidupan
ekonomi sering tidak stabil, adanya gelombang konjungtur. Mekanisme pasar bebas
menyebabkan perekonomian selalu mengalami fluktuasi yang tidak teratur. Pada
suatu masa tertentu akan mengalami kemakmuran yang tinggi, tetapi pada masa berikutnya
akan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Para pengusaha dapat memperoleh
keuntungan yang banyak secara mendadak di suatu saat, dan mengalamikehancuran
pada masa berikutnya. Demikian pula inflasi dapat tiba-tiba muncul, dan penganguran yang tinggi dapat muncul pada
masa berikutnya. Ketidakstabilan ekonomi seperti ini sangat merugikan
masyarakat banyak.
2.5 Era Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer
Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung
gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan
besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot
tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan
untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat
tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi
kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem
sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna
mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan
perang Pasifik.
2.6 Cita Cita Ekonomi Merdeka
Sudah 71 tahun bangsa Indonesia merdeka. Apakah tujuan dan
cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan yang menebus kemerdekaan
dengan keringat, air mata, darah, dan bahkan jiwa raganya sudah tercapai?
Apakah kita masih dalam jalur
dalam meniti cita-cita perjuangan mereka? Ataukah kita telah tega mengkhianati
perjuangan dan cita-cita perjuangan mereka dengan menyelewengkan amanat dan kepercayaan
yang diberikan? Peringatan hari kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya
dirayakan dengan sukacita.
Rakyat Indonesia sudah terbiasa mengisinya dengan berbagai perlombaan
dan hiburan serta pesta rakyat yang mengundang kegembiraan dan keceriaan, karena
kemerdekaan itu memang merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah SWT untuk
bangsa Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan para pejabat dan
penyelenggara negara.
Apa sebenarnya tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia? Jika
kita buka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada bagian
Pembukaan alinea IV disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan dan dibentuknya Negara
Republik Indonesia ada empat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju,
yang alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi
Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap
hidup melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya
hanya duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta.
(Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta,
kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis
besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi
kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur.
Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita
tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan
penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas
rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh
rakyat.
Supaya cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran
negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi
Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan
sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik
Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan
kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran
negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan
rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip
demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha
bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua
aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era
Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik
perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem
perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang
dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem
perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing,
seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan
pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah
mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik
upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus
melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa
perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi
“kuli” di negara-negara lain.
Sungguh luar biasa tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang dirumuskan para
pendiri negara ini. Tujuan itu mereka susun dalam kalimat yang begitu
sederhana, namun jelas dan tegas serta telah mencakup semua hal, baik politik,
ekonomi, sosial, maupun pertahanan dan keamanan. Pada poin pertama, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terkandung arti keinginan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa
kecuali.
Perlindungan di sini juga harus dimaknai dalam arti luas, bukan saja
perlindungan secara fisik dan menciptakan keamanan, tetapi juga perlindungan
hukum, dan kedaulatan negara. Coba kita renungkan apakah tujuan ini sudah
tercapai? Kita jangan berbicara soal statistik di sini, karena kalau masih ada
satu orang saja warga negara Indonesia yang tidak terlindungi berarti tujuan
tersebut belum tercapai.
Memajukan kesejahteraan umum adalah tujuan dan cita-cita kemerdekaan
untuk aspek sosial ekonomi. Tanpa kecuali negara harus mengupayakan
kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan di sini dapat
diartikan sebagai kondisi yang cukup sandang, pangan dan papan, serta
terjaminnya fasilitas kesehatan bagi rakyat Indonesia Artinya pemerintah harus
mengupayakan seluruh sumber daya dan kekayaan yang dimiliki negara untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jika ini sudah tercapai, tidak akan lagi kita temui gelandangan dan
pengemis yang berkeliaran di jalan, orang yang hidup di antara tumpukan sampah
dan bernaung di bawah jembatan, angka kriminalitas juga akan turun dan
seterusnya. Bagaimana kondisi itu saat ini, saya kira semua sudah tahu
jawabannya. Kembali angka statistik bukanlah alasan dan jawaban yang bisa
diargumentasikan di sini.
Akhirnya, kita patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu
yang menjadi cita-cita kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita
perekonomian kita ketika para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara
Republik Indonesia ini.
2.7 Ekonomi Indonesia pada setiap Periode
A.
Periode Pemerintahan Ode Lama (ORLA) 1945-1966
1.
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan:
o
Inflasi
yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces
for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
o
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak
bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
o
Kas
negara kosong.
o
Eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
o
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan
BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blockade dengan
diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika,
dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
o
Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
o
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
o
Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948. yaitu dengan mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
o Kasimo Plan yang intinya mengenai
usaha swasembada pangan denganı beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis.
Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
2.
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teoriteori mazhab
klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.
Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)
Gunting
Syarifuddin, yaitu
pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang
yang beredar agar tingkat harga turun.
b)
Program
Benteng (Kabinet
Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet
Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan
kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan
dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
d)
Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha
pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai
akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya
diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain:
a.
Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)
untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan
pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
c. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.
Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar
yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan
Malaysia dan negara-negara Barat.
Sekali
lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan system demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik,
ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
B. Periode
Orde Baru (ORBA) : periode Maret 1966 - Mei 1998
Orde baru
memiliki perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak barat
dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan Repelita,
dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi
di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi,
mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,
termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana
Pelita secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara
negara Barat.
Tujuan jangka
panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru: meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar, yang pada saat
itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi
masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Terjadi
perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat
dari perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sector industri.
Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini menunjukkan
terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari Negara agraris
menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat pada
paruh dekade 80-an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi di sector
moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi menyebabkan terjadinya pergeseran
dari semula tersentralisasi menjadi desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin
besar. Pada level meso (tengah) dan mikro, pembangunan tidak terlalu berhasil :
jumlah kemiskinan tinggi, kesenjangan ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara
umum dalam Orde Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang semula
bersifat tertutup di Orde Lama menjadi terbuka pada Orde Baru
Perkembangan ekonomi masa Orde Baru lebih baik
dari Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Kemauan
Politik yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan
perubahan kondisi ekonomi.
2. Stabilitas
politik dan ekonomi yang lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde
Baru berhasil menekan inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok
masyarakat serta meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah
jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3. Sumber
daya manusia yang lebih baik. SDM di masa ORBA memiliki kemampuan untuk menyusun
program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta
mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4. Sistem
politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu
khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi
serta ilmu pengetahuan.
5. Kondisi
ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat produksi
minyak dan harganya yang meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada
era ORBA khususnya setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa
ORLA.
Akan
tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa
pemerintah orde baru tanpa cacat. Kebijakan – kebijakan ekonomi selama masa
orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang
pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi
yang tinggi dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat
antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan nasional dan semakin besarnya
ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini
semua akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang
diawali oleh krisis nilai tikar rupiah terhadap USD pada pertengahan tahun 1997
(Tambunan,2006b)
C. Pemerintahan Transisi
Diawali
dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997, sehingga
para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah
sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah). Hal ini
menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus
melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang
intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah
thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada
IMF.
Paket
bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan
tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16
bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar
Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam
bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan
mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan,
dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip
anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah
(menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur
yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan
pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum
Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).
Memorandum
tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan
pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk
menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian
utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk rakyat
kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik. Pada periode ini
masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi gerakan
mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang
merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi
karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah
dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini
masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata
dalam perekonomian.
D. Periode Pemerintahan Orde Reformasi ( 1998-Sekarang
)
1.
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam
bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik.
2.
Kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman
Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden
Megawati.
3.
Kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan
adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh
untuk mengatasi persoalan persoalan ekonomi antara lain :
a) Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
4.
Masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden
Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga
BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi
BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang
yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial
pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan Langsung
Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor
utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah
yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang undang ketenaga kerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada masa orde lama, kinerja perekonomian indonesia sangat buruk. Produksi nasional di semua sector mengalami stagnasi, ekspor nonmigas sama sekali tidak berkembang, infrastruktur fisik hancur, tingkat inflasi sangat tinggi mencapai lebih dari 500%. Akibatnya, tingkat pendapatan per kapita di Indonesia termasuk yang paling rendah di antara Negara-negara berkembang lainnya pada masa itu.
Namun pada masa pemerintahan orde baru di bawah pimpinan soeharto, terjadi suatu perubahan yang sangat drastic di dalam perekonomian nasional. Ada tiga hal yang menunjukan perubahan besar tersebut. Pertama, inflasi dapat diturunkan dalam waktu singkat hingga ke satu digit. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang membuat pendapatan per kapita meningkat hingga di atas 1.000 USD pada awal tahun 1997. Ketiga, jumlah penduduk miskin menurun drastis.
Namun perekonomian Indonesia dihadapi oleh sejumlah permasalahan yang cukup berat, di antaranya adalah kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang memaksa pemerintah di bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga pangan, dan krisis keuangan global menjelang akhir tahun 2008 yang mengganggu kelancaran ekspor dan impor Indonesia serta investasi di dalam negeri.
DAFTAR
PUSTAKA
Tambunan, Tulus T.H. 2009, Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar